Koma

Sherly menyentuh pipi itu dengan lembut. Lalu, ia menyentuh tangan orang yang sedang terbaring di depannya itu. Ia tersenyum, menangis tertahan.
  "Ryan," ujarnya bergetar. "Bangun, dong. Udah lama kali lo kayak gini. Apa rasanya coba tiga tahun nggak buka mata?"
  Tubuh itu tetap tak merespon. Sherly menghembuskan napas pelan. Ia menggenggam tangan Ryan dengan erat.
  "Yan," Sherly berkata lirih. "Maafin gue yang waktu itu maksa lo ikut. Gue nggak tau kalo jadinya bakal kayak gini. Coba aja, waktu itu gue gak egois. Lo pasti... pasti nggak bakal kayak gini. Pasti, Yan."
  Gadis itu terdiam sesaat. Matanya menatap mata yang terpejam itu dengan lekat.
  "Sumpah, Yan, ini semua salah gue. Maaf. Ayo dong, Yan, bangun!" tangisan Sherly pun pecah.
  Matanya masih belum dapat teralihkan dari wajah pemuda itu. Sherly mengerjap. Ia menggeleng dan segera mengalihkan pandangan pada kaki kirinya. Patah. Tapi, setidaknya ia tak gegar otak seperti Ryan.
  Gadis itu tersenyum kecut. "Parah ya, Ryan."
---
"Lo mau ajak gue ke mana?"
  Ryan tak henti-hentinya bertanya seperti itu. Mungkin, cowok itu tidak tahu, kalau gadis yang ia tanyai sudah sangat kesal mendengarnya.
  Ryan yang tak mendapat respon, juga ikut kesal. "Sherly!"
  "Argh," dengus Sherly. "Apa sih? Bacot banget! Ke taman!"
  "Ngapain?"
  "Kejutan."
  Jawaban singkat Sherly membuat Ryan membisu. Cowok itu menggeleng pelan. Lalu, mendesah. "Nggak perlu buru-buru juga kali."
  Sherly menghentikan langkahnya. Gadis itu menoleh dan menatap Ryan dengan dingin. "Elo... lo tuh pernah gak sih, di suruh nunggu? Lo kan nggak tau, kalo di sana udah ada yang nunggu lo."
  Ryan menganga. "Se-serius?"
  "Hm."
  "Cewek apa cowok?"
  Sherly tak menjawab. Gadis itu tersenyum misterius.
  "Menurut lo?" Sherly bergurau. Ryan langsung menggerutu, akhirnya gadis itu balik bertanya. "Yang nunggu lo? Cewek."
  "Ha?" Ryan kaget. "Cewek kata lo?! Mau apa?"
  "Mau...," Sherly menatap Ryan tajam. "Mau tau aja!"
  Ryan langsung mati kutu. 
  Mereka berjalan dalam kesunyian. Sampai tiba-tiba, sebuah sepeda motor menyerempet Sherly. Belum sempat Sherly berdiri, sebuah mobil berkecepatan tinggi datang menghampirinya. Sherly pasrah. Ia memejamkan matanya dan merasa seseorang mendorongnya. Ia terhempas. Kaki kirinya membentur trotoar dengan sangat kencang.
  Sayup-sayup, ia mendengar suara orang datang menghampirinya. Lalu, gelap.
---
"Sher... Sherly... Bangun..."
  Sherly mengerjap. Mencoba sedikit lebih sadar lagi.
  "Ngapain lo tidur di sebelah gue?"
  Sherly langsung mendapatkan kesadarannya. Gadis itu terkesiap. " Ry-Ryan?"
  "Hai, Sher. Good morning, Sweety." Ryan tersenyum manis.
  "Lo? U-udah siuman?"
  Ryan tertawa. "Yalah. Gue udah siuman dari jam 3 pagi tadi. Elonya aja, kebo!" Ryan tertawa kecil. "Lagian, tega lo, kalo mau gue koma terus."
  Sherly menutup mulutnya. Matanya terbelalak tak percaya.
  "Eh, iya, Sher," Ryan mengoceh lagi. "Gue udah koma berapa lama, ya? Kok kay..."
  "Tiga tahun,"  Sherly menyela. "Lo nggak buka mata selama tiga tahun. Lo gegar otak. Lumayan parah. Dokter sempet bilang, mungkin... mungkin lo nggak akan bisa buka mata lagi. Tapi, yap, dokter salah."
  "Tiga tahun?" Ryan berusaha mencerna. "Lama juga ya... Widih!"
  Sherly mengabaikan gumaman Ryan. "Maaf," gadis itu menatap lurus ke dalam mata hitam Ryan. "Semua ini gara-gara gue. Salah gue. Maaf."
  Ryan terdiam. Ia mengalihkan pandangannya. Namun, tak lama cowok itu kembali menatap Sherly dan tersenyum lembut.
  "Takdir. Bukan salah lo. Yang mau nolong lo itukan gue. Nggak usah ngerasa bersalah."
  Sherly terkesiap. Gadis itu bingung. Tapi, tak lama ia ikut tersenyum.
  "Eh, panggil dokter, dong," Ryan merajuk. "Pengen pergi dari sini, nih, gue."
  Sherly tertawa. Lalu, segera menuruti keinginan Ryan. Gadis itu beranjak dan segera melangkah menuju pintu.
  Ryan menatap punggung Sherly. Ia merasa ada yang perlu ia tanyakan. Atau, lebih tepatnya dipastikan.
  "Sherly!"
  Gadis itu berhenti dan segera menoleh penuh minat.
  "Waktu itu," Ryan mencoba mengingat. "Waktu itu sebenernya yang nunggu gue itu, hati lo, kan? Iya, kan, Sher?"
  Sherly terkejut. Tapi, gadis itu menolak menjawab. Sebagai gantinya, gadis itu memberikan senyum misterius dan segera keluar kamar.
  "Ya. Lo yang nunggu gue." Ryan tersenyum melihat senyum Sherly.
  "Lo yang bangunin gue. Lo yang mau nangis buat gue. Lo yang sangat pengen gue lindungin. Lo yang nunggu gue. Lo yang mau sayang sama gue. Makasih, Sher. Lo berarti banget buat gue."
  Ryan merebahkan tubuhnya. Ia mengerjap dan tersenyum tipis. Perlahan mesin perekam detak jantung mulai menunjukkan detak yang mulai melemah. Ryan mulai menutup matanya. Dan kali ini, untuk selamanya.

Comments

Popular Posts