Tinggal

Jakarta hujan lagi. Sudah kali kelima dalam seminggu dan jujur saja, gadis itu mulai rindu matahari. Sebesar apapun ia menyukai hujan, rasanya minggu ini adalah pengecualian.

Maksudnya begini, lho, setiap hari bertandang, apa hujan tidak bosan? Memangnya hujan tidak mau bertamu ke kota lain? Apa hujan tidak kasihan dengan orang-orang yang kehabisan baju karena jemurannya masih basah? Atau hujan sengaja menyediakan kolam renang dadakan bagi orang Jakarta yang tidak sempat liburan?

Pening juga, pikirnya sambil meraih cangkir berisi cokelat panas.

Perlahan, gadis itu menyeruput minumannya. Ia mengangguk puas ketika cokelat panas melewati kerongkongan. Hangat. Manis. Persis seperti apa yang ia bayangkan.

Karena hujan, kafe yang biasanya hanya punya satu sampai dua pengunjung mendadak penuh. Letaknya di sudut jalan, dikelililingi pepohonan rindang. Agak tersembunyi, memang. Memasuki musim hujan, dahan-dahan mulai dipangkas. Takut tumbang, katanya. Alhasil, kafe tersebut jadi sedikit agak tidak tersembunyi. Sedikit.

Beberapa orang datang untuk berteduh sejenak hingga hujan sedikit reda dan mereka bisa melanjutkan perjalanan. Ada juga yang mencari Wi-Fi untuk revisi tugas akhir karena rumahnya banjir dan mati listrik. Setidaknya, begitu yang ia dengar ketika mereka melewatinya.

Sentuhan ringan di pundak membuat gadis itu menoleh. Di depannya berdiri pemuda yang menatap penuh tanya. Bahu bagian kanannya basah, rambutnya sedikit lepek. Ada bercak-bercak air di kacamatanya. Pemuda itu tetap tersenyum walaupun keraguan masih nampak jelas di wajahnya.

Ia terlihat menarik. Kulitnya sawo matang. Sorot matanya tajam, tapi juga lembut. Lesung pipi menghiasi wajah pemuda itu saat ia menarik kedua sudut bibirnya. Manis. Ia terlihat jauh lebih baik dibandingkan foto profilnya.

Mine?”

Gadis itu meringis, mengulurkan tangan yang langsung disambut oleh pemuda tersebut. Telapaknya basah dan dingin. “Mine as in 'mi' in 'mie' and 'ne' in 'Nepal'. Mi-ne, bukan 'mine'. By the way, nice to meet you, Al.”

Al mengangguk sambil tertawa kecil. Pemuda itu segera duduk di hadapan Mine. Jemari perlahan menyisir rambut lepeknya.

“Ketemu juga kita,” ujar Mine sambil tertawa. Matanya masih menatap pemuda itu dengan tidak percaya. “Ini kayak nggak nyata bisa ketemu lo. Oh, ya, udah pesen?”

To be honest, gue juga nggak percaya kita ketemu. Akhirnya, ya? Setelah jadi mutual selama tiga tahun. Eh, sempetnya baru sekarang.” Pemuda itu terkekeh sambil membetulkan posisi kacamatanya. “Udah pesen. Nanti diantar.”

“Oh, pesen apa?”

Americano.”

Mine melirik cokelat panasnya. “Kontras,” selorohnya sambil tersenyum.

Sejenak mereka berdua terdiam. Sibuk dengan urusan masing-masing. Al memeras ujung kemejanya dan Mine yang hanya memutar sendok di cangkirnya. Bingung harus mulai dari mana. Canggung pula. Walaupun sudah kenal satu sama lain via dunia maya selama tiga tahun, bisa tatap muka seperti ini rasanya berbeda sekali.

“Satu hot americano?” suara pelayan menghentakkan keduanya dari dunia masing-masing.

“Iya,” secangkir hot americano diletakkan di depan pemuda itu. “Terima kasih,” ucap Al.

Selepas pelayan itu pergi, Mine mulai membuka suara. “Jadi, kenapa tiba-tiba minta ketemu? Don't get me wrong. Gue seneng akhirnya bisa ketemu. Asli.”

Al tidak langsung menjawab. Ada jeda satu sampai dua menit sebelum suaranya yang berat sampai di telinga Mine.

“Inget nggak percakapan jam dua pagi kita?”

Hilang sudah kecanggungan yang Mine rasakan. Semua obrolan tengah malam mereka perlahan menyeruak memenuhi pikirannya. Hanya saja, ia tidak tahu percakapan mana yang dimaksud pemuda itu. Mereka banyak menghabiskan malam dengan chatting dan bertukar pesan suara sampai subuh. Weekend malah tambah parah. Kalau matahari belum keluar dari peraduan, mereka tidak akan mengakhiri percakapan.

Obrolan mereka juga beragam. Kadang mereka membahas sesuatu yang ringan seperti boyband Korea yang Mine sukai atau games terbaru yang Al incar. Kadang juga mereka membahas tentang keadaan dunia saat iniă…¡ Mine mencibir dalam hati ketika mengingatnya. Kadang saling berbagi gosip tentang keadaan timeline dan mutuals mereka di dunia maya. Kadang mereka sudah terlalu ngantuk untuk menyaring percakapan dan berakhir dengan sesi mengenal satu sama lain lebih jauh.

Setelah menyortir ingatan, ia tidak merasa menemukan obrolan yang Al maksud. Menyerah, gadis itu akhirnya mengernyit. “Setiap weekend juga kita ngobrol sampai pagi.”

“Iya, sih. Kalau gitu, revisi pertanyaan.”

“Mana adă…¡”

“Lo inget kita pernah bahas tentang ketakutan masing-masing?”

Pertanyaan Al membuat sirkuit otaknya bekerja dua kali lebih cepat. Segala macam pertanyaan berputar, bersinggungan satu sama lain. Tiba-tiba saja, ia merasa ingin menangis. Tenggorokannya terasa menyempit sehingga udara tidak bisa bebas lewat di sana.

“Mine.”

Telapak tangan pemuda itu sekarang berada di atas tangan Mine. Ibu jarinya membuat gerakan memutar, mengelus lembut punggung tangan yang terasa hangat di bawah telapaknya yang dingin.

“Gue nggak cuma punya satu ketakutan, Al.”

Suara gadis itu kecil. Lirih. Hampir tidak terdengar di tengah lantunan lagu yang diputar serta derasnya hujan di luar.

I know.” Mine tidak berkata apa-apa. Ia hanya diam sambil terus menatap pemuda yang sedang menggaruk pelan pipinya sendiri. “Gue mau pamit.”

“Lo mau pamit?”

“Gue mau pamit.”

“Lo mau pamit.”

“Iya.”

“Itu bukan pertanyaan.”

“Gue juga nggak lagi jawab.”

“Kenapa?”

Just because.”

Hening. Al membuang mukanya setelah mengatakan hal itu. Matanya menatap kosong ke jalanan yang basah. Tangannya masih tetap menggenggam tangan Mine. Bedanya, genggaman itu tidak seerat tadi.

Dingin.

Hawa dingin mulai menjalar dari tangan mereka yang saling bersentuhan. Entah mengapa, suhu di kafe itu seakan turun sekian derajat. Padahal, hujan sudah mulai reda. Bukankah seharusnya suhu malah menghangat?

Entahlah. Gadis itu terlalu sibuk dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk dalam pikirnya.

Kenapa tiba-tiba? Mau ke mana? Ada apa? Gue salah apa? Ada andil gue sampai lo mau pergi kayak gini? Kenapa nggak mau bilang? Selama tiga tahun kenal satu sama lain, lo cerita semuanya. Kenapa sekarang nggak? Kenapa harus ketemu buat pamitan? Gue nggak bisa ngobrol lagi sama lo? Kenapa kita baru ketemu sekarang? Emangnya kita nggak akan ketemu lagi? Emaă…¡

“Kenapa sekarang?” ingin rasanya mengutuk mulut yang berbicara tanpa izin. Namun, melihat bagaimana ia mendapatkan kembali perhatian lawan bicaranya, Mine mengurungkan niat.

Yang ditanya tidak langsung menjawab. Sepasang manik itu hanya menyiratkan sendu yang disusul dengan senyum tipis.

“Karena satu dan lain hal.”

“Selamanya?”

“Lo kira gue mau mati?”

“Umur nggak ada yang tahu.”

“Bener.”

“Jadi?”

Pemuda itu menghela napas sebelum menjawab dengan lirih, “Nggak tahu. Tapi, gue harap lo nggak cari gue.”

“Masa nggak gue cari? Kita temenan tiga tahun, Al.”

“Ini gue pamit makanya, Mine.”

“Kenapa pamitnya harus ketemu? Kenapa nggak lewat chat aja?”

Genggamannya erat lagi. “Biar lo nggak nangis sendirian,” lirih pemuda itu. “I know you are terribly afraid to lose your people. I know you are quite attached to me as I am to you. You would cry as if we were some lovers that wanted to break up.”

Friendship breakup hurts too.”

That's why I am here. So, I can embrace you when you are in tears.”

“Lo jahat banget. Gue nggak bisa nangis di keramaian.”

“Lo kira gue tahu bakal hujan dan kafenya jadi ramai kayak gini?”

Mine tidak langsung menjawab. Bibirnya sudah gemetar. Kalut sudah ada di ujung tenggorokan, menghalangi pertanyaan-pertanyaan yang hendak gadis itu lontarkan.

“Maaf.”

Gadis itu membuang muka, menolak untuk melihat Al yang sedang menatapnya lekat.

“Lo jahat banget. Sumpah.”

“Gue minta maaf.”

“Egois.”

I know. You have the right to be angry.”

“Dan lo tahu gue nggak bisa marah.”

“Gue bener-bener minta maaf.”

Mine memejamkan matanya. Mana tahu dengan itu, perih yang ia rasa bisa perlahan memudar dan hilang. Tidak mempan. Tetap ada yang jatuh di dalam hatinya. Sakit. Sakit sekali.

Ada sentuhan lembut di pipi Mine, membuat gadis itu membuka kedua kelopak matanya.

“Jangan nangis.”

“Tadi katanya lo ke sini biar gue nggak nangis sendirian. Gimana, sih?”

Al menarik kembali tangannya, tertawa kecil. Tapi, tawanya tidak mencapai mata karena sinar matanya meredup. Gusar. Takut. Sedih. Gamang. Segalanya menari dalam manik Al. Pemuda itu terlihat rapuh.

Ini pertama kalinya mereka bertemu. Pertama kalinya juga mereka berbicara sambil saling melihat ekspresi satu sama lain. Mine tidak pernah tahu bagaimana wajah Al ketika ia sedang bercerita dirinya. Tidak pernah tahu bagaimana rupa pemuda itu saat mereka saling membuka luka satu sama lain. Tidak pernah tahu ekspresi apa yang ada di wajah pemuda itu ketika ia sedang kalut.

Ini pertama kali bagi Mine dan anehnya, ia merasa sudah melakukan ini selama bertahun-tahun.

Tell me, do you really have to do this?”

Sebuah anggukan.

Do you actually want this?”

Mine melihat bagaimana mata pemuda itu melebar, kaget. Lewat air muka Al, Mine tahu pertanyaan ini ada di luar prediksi pemuda tersebut. Al menarik napas panjang kemudian menghembuskannya dengan perlahan. Napasnya bergetar seakan setiap udara yang ia hirup bisa menyakitinya.

Mine baru menyadari, Al memang terlihat sakit. Bukan sakit karena penyakit, tapi sakit karena sakit.

Kaget yang sempat menghiasi wajah pemuda di hadapannya sudah hilang. Sekarang Al kembali dengan senyumnya. Alih-alih merasa tenang, Mine jadi tambah gundah karena Al seperti memaksakan diri untuk tersenyum.

I do.”

Pemuda itu tidak menatap matanya. Saat itu Mine tahu, bukan ini yang Al mau. Setelah mempelajari ekspresi Al dan melihat berbagai emosi terpancar dari maniknya, Mine mengerti bahwa ini sama sulitnya bagi Al. Mungkin memang ada sesuatu yang memaksanya untuk pergi. Apapun itu, Mine tidak punya hak untuk melarangnya. Al juga tidak punya kewajiban untuk memberi tahu alasannya.

Toh, Mine juga bukan siapa-siapa Al. Mine hanya teman dunia maya yang kebetulan dapat kesempatan untuk sedikit mengenal Al lebih baik. Kalaupun tidak seperti ini akhirnya, suatu saat nanti mereka juga harus berhenti dan melanjutkan hidup masing-masing.

Sedih dan kesal yang ia rasakan mendadak lenyap. Kenyataan pahit, memang.

Okay,” gadis itu terdengar sangat tenang dan itu membuat keduanya kaget. “Can I ask you one more question, though?”

“Apa?”

“Kalau keadaannya berbeda dan pergi bukan satu-satunya pilihan, lo bakal tinggal nggak? I mean, if I asked.”

Pemuda itu mengangguk dengan cepat, membuat gadis di hadapannya tersenyum.

Under different circumstances, yes. I would love to get to know you more and spend times with you. Go to places and eat a lot of foods. I'll be your model because no one allows you to take their picture from behind, right?”

That would be nice,” timpal Mine sambil menyunggingkan senyum tipis.

Mereka kembali terdiam. Hujan sudah reda. Orang-orang mulai beranjak dari tempat duduk mereka, melangkah keluar untuk melanjutkan hidup.

“Mine.”

“Hmm.”

“Kontak gue jangan dihapus atau diblock, ya? Archive aja.”

Gadis itu memutar bola matanya, menggeleng karena permintaan Al terdengar konyol di telinganya.

“Mana mungkin gue block lo. Dasar ngaco.”

“Ya, who knows.”

“Berantem aja apa kita?” Mine mendengus kesal, membuat pemuda di hadapannya tergelak. “Setelah kita pulang nanti dan lo harus pergi, jangan sungkan buat kontak gue kalau ada apa-apa. I'm always here if you need someone to talk to.”

“Siap, Nyonya.”

“Nyebelin banget.”

“Nggak apa-apa. Biar lo inget terus sama nyebelinnya gue.”

“Biar apa?”

“Biar kangen.”

Gadis itu tidak menjawab. Ia hanya mengendikkan bahunya karena pasti, ia akan merindukan Al. Sesampainya di rumah nanti, ia harus mulai membiasakan diri untuk tidak terlalu sering mengecek ponselnya. Tidur juga harus lebih cepat karena tidak akan ada lagi yang akan mengajaknya mengobrol ngalor ngidul tentang semesta.

Rasanya aneh harus kembali ke hari di mana tidak ada Al dalam hidupnya. Tiga tahun lalu terasa asing, begitupun dengan besok.

“Boleh peluk?”

Tatapannya kembali jatuh pada mata pemuda itu. Jika tadi ada banyak emosi yang berkecamuk di sana, sekarang semuanya mereda. Hanya tersisa lega dan harap.

Hangat menjalar ke sekujur tubuh Mine dan tanpa sadar, kedua sudut bibirnya sudah naik, mengulas senyum. Ia membuka kedua lengannya lebar-lebar, mengangguk malu-malu.

I thought you'd never ask.”

Al hanya tertawa sebelum menarik Mine ke pelukannya. Dahunya berada tepat di atas kepala Mine. Saat pemuda itu mengeratkan rengkuhannya, Mine benar-benar tersadară…¡ ini adalah perpisahan. Jadi, ia biarkan kepalanya bersandar di dada Al, mendengarkan detak jantungnya.

Selamat tinggal.

*

"It's ironic that 'tinggal' means both staying and leaving."


[ Tentang pertemuan dan perpisahan, Januari 2020. ]

Comments

Post a Comment

Popular Posts