Dimensi Belah Ketupat
Aku melihat ke arahnya untuk yang kesekian kalinya. Lagi-lagi ia hanya tersenyum saat mendengarkan ibu dan kakaknya berbicara. Aku tersenyum melihatnya dari aula tempatku berdiri.
"Masih ngeliatin si Rano? Ntar dia gantengnya luntur lho..." gurau Shera yang tiba-tiba berdiri di sebelahku.
"Apaan, sih? Orang gue nggak liatin dia," elakku. Shera tertawa tipis. Ia lalu menaikkan kaca matanya.
Aku merapikan kertas gambar yang berserakan, lalu memilah gambar lagi. Di depan aula, anak-anak kelas VIII-5 sedang bermain sepak bola. Di sana ada Ditya, kakak kelas yang paling dekat denganku. Ia memainkan bola di kakinya dengan sangat lincah. Bola itu ia tendang ke arah gawang, tapi meleset dan bola itu menggelinding ke arah...taman terlarang.
"Ya ampun," gumamku.
"Kenapa, Ya?" Shera menegurku.
"Itu," aku menunjuk ke arah taman terlarang. "Bola yang tadi ditendang Ditya, masuk ke taman."
Belum sempat Shera merespon, aku terpaku melihat Rano yang langsung berlari ke dalam taman. Ibunya menjerit histeris, beliau ingin mengejar, namun kakak Rano mencegahnya. Lalu, kulihat Ditya berlari menyusulnya dan hilang di taman yang penuh dengan teka-teki itu. Aku berdesis.
"Sher, lo tunggu di sini, ya."
"Hah? Lo mau apa, Ya?"
"Nyusul Ditya," aku berlari ke arah taman terlarang itu.
"Reaaaaa!" Shera berteriak memanggilku. Tak kuhiraukan panggilan Shera. Aku melewati ibu Rano yang sedang menangis. Kakaknya tersenyum getir melihatku. Hatiku berdegup kencang, saat mereka berdua-ibu dan kakak Rano-melihat dan memberi tatapan 'kami mengandalkanmu'. Tapi, itu semua sirna, saat aku telah masuk ke dalam taman itu.
Hatiku berdesir pelan, taman terlarang tak seseram isu yang kami dengar. Taman terlarang yang kini ada di hadapanku, hanyalah sebuah taman yang sempit dengan banyak pohon mawar merah. Sedangkan isu yang kudengar, taman terlarang adalah taman yang penuh dengan perangkap. Maklum, sekolah kami adalah sekolah elite yang berada di pedalaman.
Oke, bukan saatnya menceritakan isu. Misiku adalah menemukan Rano dan Ditya.
"Duh, mana, sih?" gumamku. Aku mulai gemetar. Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Tapi yang ada, hanya bunga-bunga mawar. "Kak Dit.."
Aku mulai menangis pelan, tak sengaja mataku terpaku pada satu-satunya semak disana. Aku berjalan melewatinya. Aku melihat sekumpulan orang bergaya hip-hop. Aku mendekati mereka.
"Hei," sapaku. "kalian liat dua anak cowok ke sini nggak?"
Salah satu dari mereka mendekatiku, "Yap, mereka masuk ke kolam ini"
Aku melirik kolam itu, airnya sangat bening. "Apa? Mana mungkin, jangan bercanda!"
Orang itu hanya tersenyum tipis, lalu ia menarikku untuk berdiri di pinggir kolam itu. "Liat ya," ujarnya sambil membentuk belah ketupat dengan jarinya berulang kali. Lalu, terbentuklah dimensi asing disana.
Aku melihat dengan pandangan bingung. Tanpa berkomentar.
"Masuk deh, temen lo ada di sana"
"I-iya," aku melompat ke tengah belah ketupat yang ia buat. Dan, "Bruk!" aku sudah berada dalam ruang tamu seseorang.
Aku mendongak, anak itu masih ada. Tapi mulai buram karena dimensi itu akan tertutup. "Hei, gue keluar gimana dong?!"
"Lo lompat aja 3 kali di sana. Nanti gue akan bukain lagi pintu dimensinya." dan pintu itu, tertutup.
Aku mengarahkan pandanganku ke depan. Aku mengucek-ngucek mataku. Itu, itu...Ditya!
"Kak Dit?"
"Rea? Kok? Kenapa bisa di sini, Re?"
"Sendirinya juga, kenapa?"
"Aku...aku..aku nggak.."
"Ditya!" aku dan Ditya menoleh bersama. Rano. "Lo ngapain di si-eh?"
Aku terkesiap, "Hei, Rano?"
Rano tersenyum tipis. Ia lalu melirik Ditya."Ah, halo. Kok bisa disini?"
"Eh, iya," aku tersadar dan mengingat kembali misiku. "Mau jemput kalian. Ayo, kita balik. Ini bukan dunia kita."
Ditya dan Rano bertatapan serius. Lalu keduanya menatapku. Ditya maju selangkah dan menatapku lekat-lekat. "Re, kamu tau caranya buat pulang? Kita nggak tau. Lagipula..."
"Lagipula?"
"Ada yang harus kita selesain di sini." Rano ikut berbicara. Aku mengangguk mengerti. Lalu, mereka berdua berjalan menuju suatu ruangan. Begitu kakiku menapak pada ruangan itu, aku terkesiap. Banyak anak-anak yang duduk di ruangan itu dan langsung mengarahkan pandangannya padaku saat aku memasuki ruangan itu.
Aku langsung mengalihkan pandanganku ke arah Ditya dan Rano. Aku langsung melemparkan tatapan bingung ke arah mereka. Kuangkat kedua tanganku sambil memiringkan kepalaku.
"Mereka, Re," Rano mulai bersuara, "Kita harus bawa mereka pulang juga. Kalo nggak, mereka bakal kejebak selamanya. Lo tau jalan pulang, kan?"
"Iya. Jadi ini masalahnya? Masalah yang nggak bisa kalian tinggal?"
Ditya dan Rano mengangguk serempak. Lalu, Ditya maju dan menatapku lekat. "Kamu mau bantu?"
"Iyalah, Kak. Leave it to me. Kalo gitu, ayo!" aku tersenyum dan mengisyaratkan mereka semua mengikutiku. Aku sangat lega mereka langsung beranjak dan tersenyum melihatku. Sampai seseorang menahan lenganku.
"Heh, mau kamu bawa ke mana mereka?"
Anak-anak lain langsung mundur dan menatapku dengan pandangan takut. Aku menoleh ke belakang dan mendapati seorang wanita yang berusia kira-kira 40-an menatapku sambil mempererat genggamannya. Aku menggigit bibirku. Wanita itu menatap mataku dan kurasakan tatapan itu menembus dingin ke dalam mataku. Lalu dengan kasar, ia dorong badanku ke lantai. Untung ada Rano yang menahanku agar tak terjatuh.
"Kamu kira kamu bisa bawa mereka pergi?! Jangan harap!"
Aku tergugu. Wanita itu berjongkok dan menyentuh daguku. Mengangkat wajahku. Lalu, ia menyeringai. Perlahan, kulihat seorang anak laki-laki di belakangnya. Dan anak itu tersenyum senang melihatku.
"Ma, dia bakal Mama kasih buatku, kan? Buat mainanku?"
Aku membelalakkan mataku. Mainan? Aku bukan mainan! Tapi, mulutku tak bisa berkata apa-apa. Mulutku terkatup rapat.
"Terserah kamu. Mama mau pergi dulu, ke tempat biasa. Jagain mereka," dia lalu beralih padaku. "Dan kamu, Iblis Manis, tetap di sini. Jangan coba-coba kabur."
Aku masih lemas saat tangan dingin itu melepaskan daguku. Rano langsung menahanku dari belakang agar aku tidak terjatuh. Aku masih gemetar. Aku ketakutan. Dan aku merasa seperti ingin menangis. Lalu, tiba-tiba kurasakan tangan dingin lain menyentuh lenganku.
"Ayo, sekarang lo punya gue. Ayo main!"
Aku menatap anak itu. Dan aku tak bisa berbuat apa-apa saat dia menarikku. Tapi kemudian, Ditya menahanku dan menarikku kembali ke pelukannya.
"Masuk lo ke kamar. Jangan coba-coba elo nyentuh adek gue! Kalo nggak ada ibu lo yang nenek sihir, gue nggak takut sama lo. Dan kalo lo nyentuh adek gue, lo mati!"
Aku terdiam. Aku benar-benar masih tidak punya kekuatan untuk berbuat apa-apa. Tatapan ibu itu masih terasa dan menyerap kekuatanku. Bahkan, kekuatanku untuk tetap sadar.
"Re... Rea," samar-samar kudengar suara Ditya memanggil. "Re, ayo. Sekarang kita bisa pergi. Aku gendong kamu, nanti kamu tunjukkin jalan keluarnya ya."
Aku mulai membuka mataku. Begitu aku melihat ke langit-langit, sadarlah aku bahwa aku sudah berada di tempat aku masuk. Dengan lemah kuminta Ditya melompat tiga kali dan dimensi belah ketupat itu muncul. Anak-anak segera melompat ke sana. Lalu Rano. Setelah itu aku, tapi, tiba-tiba kudengar suara yang membekukan hatiku. Suara ibu bertatapan dingin itu. Aku langsung bergerak-gerak panik. Ditya paham dan langsung melompat.
"Iblis! Kalian semua, lihat nanti!"
Kami selamat.
Satu tahun semenjak kejadian itu. Hubunganku dengan Rano menjadi makin dekat. Perlahan-lahan warga sekolah mulai melupakan kejadianku di taman terlarang. Walapun begitu, aku tetap tidak bisa melupakan tatapan dingin, tangan dingin, dan senyuman anak itu. Aku baru ingat, sebelum aku kembali aku melihat seseorang tersenyum di belakang ibu itu. Ya, anak itu.
"Rea, lo udah tau, bakal ada anak pindahan?"
"Hah?" aku yang masih belum nyambung langsung mengangkat bahuku. Aku dan Shera memang sekelas lagi.
"Iya, cowok. Katanya gan-" ucapan Shera terputus begitu wali kelas kami memasuki kelas dan di belakangnya seorang anak laki-laki yang cukup tinggi mengikuti.
Aku terkesiap. Anak itu menunduk. Tapi aku mengenalnya. Dan jantungku terasa berhenti berdegup saat anak itu mengangkat kepalanya.
"Nama saya Ari Pratama. Panggil saya Ari."
Oh, tidak.
"Re?" Shera langsung memanggil namaku. "Lo kenapa?"
Entah kenapa, aku kembali tak bisa berkata apapun seperti saat itu. Tatapan dinginnya menyerap keberadaanku. Lalu, anak itu menatapku lekat. Aku menelan ludahku dengan susah payah. Apalagi, saat ia melangkah melewatiku. Aku terpaku.
Dia berbisik, "Hei, Manis. Kita ketemu lagi. Siap-siap ya."
Oh tidak. Matilah aku.


Comments
Post a Comment