Our Wall
“Anya?”
Panggilan itu adalah hal yang pertama
kudengar saat menapakkan kakiku di sini. Aku mengamati dan mengerutkan dahi
sejenak. Ah, dia itu kalau tidak salah…
“Gue Satya, lo masih inget? Yang dulu sering main bola
bareng.”
“Ah, iya. Kak Satya! Lo tinggi banget sekarang, gue sampe
pangling.”
Satya tertawa. “Baru pulang? Kayaknya langsung dari
bandara, nih.”
Aku melirik koperku. Lalu menggangguk sambil memperhatikan
sekeliling. Lingkungan ini sudah berbeda jauh. Tujuh tahun kutinggalkan tempat
ini dan sekarang hampir tidak tersisa bekas-bekas masa kecilku.
“Kenapa, Nya? Mau mampir ke rumah? Biar lebih enak ngobrol.
Bentar lagi Pasha sama Dio juga nyampe. Mereka mau ke rumah gue juga.”
“Oke,” tukasku sambil membawa koper. Satya tertawa dan
mengambil alih membawa koperku. Aku berjalan di belakang Satya. Aku
berjalan perlahan. Deretan rumah-rumah yang dulu sangat kuhafal kini tak lagi
sama. Banyak yang sudah kosong dan tidak seramai dulu.
"Hai, Anya. Apa kabar?" sapa seseorang. Aku tersadar dan tersenyum senang ketika melihat orang yang menyapaku.
"Kak Diooooo! Kak Pashaaa! Aaaa, gue kangen kalian!"
Pasha tertawa. "Heboh banget sih lu. Kelamaan di Jepang bikin sirkuit kusut ya?"
"Udah, udah. Ayo, masuk," Satya melerai sambil tertawa. Ia membimbing kami masuk dan duduk di ruang tamunya. "Mau pada minum apa?"
"Air putih aja, Sat. Kita mending cepet ngobrol," ujar Dio tak sabar.
"Yup. Ngobrolin masa kecil. Flashback delapan tahun lalu. Sebelum gue ke Jepang. Pas Mara masih di sini. Saat semuanya masih belum sesepi ini."
"Gila, panas banget! Item, item dah gua!"
Aku tertawa mendengar celotehan Mara. Ini hari terakhir dia berada di sini. Bermain bola bersamaku dan teman-teman cowok kami. Dua jam lagi, ia akan pergi. Pindah ke Padang.
"Nya, lo nggak pa-pa?" Arman menyenggolku."Kalo nggak pa-pa, lo main."
"Ahaha, gimana kalo kita ke taman? Coret dinding kapur aja yuk!" usulku.
Mara dan yang lainnya langsung menoleh padaku. Aku bisa melihat wajah mereka muram. Dio bahkan terang-terangan menatap Mara dengan pandangan nanar.
"Ka-kalian apa, sih?" aku berusaha tertawa. "Ayo! Waktu kita tinggal satu setengah jam. Ayo, lari!"
Mereka tersenyum kecil. Kami lari dengan sangat cepat. Secepat yang kami bisa. Karena kami ingin sampai di sana sebelum Mara pergi. Kami ingin menulis di dinding itu. Sebanyak mungkin.
"Sampai!" kami berteriak bersama-sama. Peluh kami menetes deras. Tapi kami tak menghiraukannya.
"Siapa yang bakal gali kapurnya?"
"Eh?" Kami semua menoleh ke arah Satya yang dengan polos memberikan pertanyaan itu.
"Entar Bunda gue marah kalo gue main tanah, iya, kan, Del?" tanya Fadil pada kembarannya, Fadel.
"Yap," Fadel menyahut.
"Kalo gitu...," Pasha menoleh ke arah Mara. Kami mengikutinya dan seketika kami mempunyai ide yang sama. Wajah Mara pun berubah getir.
"Tolong ya, Maraaaa!"
5 menit berlalu dan Mara sudah berhasil mengeluarkan kaleng kapur kami. Dan sekarang, kami sedang asyik mencoret-coret dinding ini.
"Heh, kita harus bilang makasih ke Mara sama Anya," celetuk Fahri.
"Iya, soalnya kalo mereka nggak nemuin reruntuhan rumah ini, kita nggak akan pernah dapetin tempat buat coret-coret kayak gini."
Aku dan Mara berpandangan sesaat. Lalu kami tersenyum. Aku melanjutkan gambarku dan tulisanku.
"Di situ tergambar dan tertulis, 'Dinding ini akan selalu jadi punya kita', yakan?" Mara menunjuk gambarku. "Eh?! Lo kenapa, Nya?!"
"Ha?" aku menatapnya janggal. Ia menunjuk wajahku. Dan aku spontan menyentuh wajahku juga. Aku terpaku. Aku...menangis?
Semuanya menoleh ke arahku dan entah kenapa, aku malah makin terisak. Lalu, semuanya perlahan menangis dan duduk di dekatku. Mara memelukku erat. Sedangkan teman-temanku yang lain berusaha menyembunyikan air mata mereka.
Kami semua menangis bersama sebagai sahabat.
"Well, tulisannya udah ilang."
Aku mengelus dinding itu perlahan. Lalu aku menoleh pada Pasha, Dio, dan Satya.
"Suatu saat, kita bakal nulis di sini lagi, kan? Bareng yang lain? Iya, kan?"
Air muka Satya, Dio, maupun Pasha langsung berubah. Mereka langsung berpandangan satu sama lain. Perasaanku mengatakan, ada yang tidak beres.
"Iya, kan? Reruntuhan ini ba-"
"Sori, Nya," Pasha menyela. "Hari ini, hari ini terakhir."
"A-apa? Ter-terakhir, Kak? Maksudny-"
"Besok, rumah ini bakalan bener-bener ilang dari sini," Dio tersenyum muram. "Kawasan ini mau dibangun jadi taman kota."
Aku membeku. Entah kenapa aku benar-benar kehilangan setengah kesadaranku. Perlahan kusapukan pandanganku ke seluruh dinding. Dan terbayang olehku jutaan kenangan yang pernah kami lakukan. Jutaan tulisan yang pernah kami torehkan. Tawa yang tercipta di sini. Bercak kotoran tanah yang menempel pada baju kami saat kami menggali kapur. Dan tangis yang terdengar saat itu.
Benarkah tempat yang penuh dengan kenangan ini akan hilang?
"Anya, lo nggak pa-pa?"
Aku menggeleng. Lalu aku merogoh tasku. Seingatku aku membawa tempat pensil. Setelah tanganku menemukan apa yang kucari, kukeluarkan spidol warna-warna yang selalu kubawa dalam tempat pensil. Kusodorkan spidol-spidol itu pada tiga orang temanku.
"Buat yang terakhir. Ayo, coret-corat tembok ini," aku tersenyum muram.
Mereka memandangku sesaat. Lalu menyambar spidol-spidol yang kusodorkan. Kami memulai coretan kami. Yang terakhir.
Kami terlarut dalam coretan dan keheningan. Saat kuangkat kepalaku, aku merasa goyah. Kami semua menulis hal yang sama. Rasa yang sama. Dan rangkaian huruf yang sama.
'Tembok Kita'
Aku merasa air mataku luruh. Tapi aku tersenyum. Kualihkan pandanganku pada ketiga teman baikku itu.
"Hey, kalian mau janji?"
Mereka mengangguk. Aku berjalan mendekati mereka dan memandang mata mereka bergantian.
"Suatu saat... Suatu saat, pasti gue bakal nemuin suatu tempat buat kita ngumpul bareng. Saat itu gue yakin Mara bisa balik ke sini. Ke Jakarta. Kalo saat itu tiba, kalian maukan ngumpul lagi kayak dulu?"
Mereka terdiam tersaat. Dan lalu tertawa.
"Iyalah. Mau banget. Kita bakal balik lagi kayak dulu. Kita janji sama lo, Nya," Satya tertawa. Pasha dan Dio mengangguk setuju.
"Makasih ya," ujarku. Kulihat jam tanganku dan aku segera berkemas. "Sori, gue pulang dulu ya. Ntar keluarga gue bingung lagi gue ke mana."
Pasha, Dio, dan Satya mengangguk. Lalu kulambaikan tangan. Mereka membalasnya dengan senyuman hangat.
Sebelum aku benar-benar keluar dari reruntuhan itu, aku menoleh lagi. "Hey, walau nanti reruntuhan ini ilang dan temboknya lenyap, kenangan kita nggak bakal bisa ilang 'kan?"
Mereka bertiga menatapku kaget. Lalu tersenyum yakin dengan serempak. Aku ikut tersenyum dan melambai sekali lagi. Dan perlahan kutinggalkan rumah itu.
Ya, jawabannya iya. Memangnya siapa yang bisa menghapus kenangan?
Reruntuhan itu... Dinding itu... Akan selalu jadi bagian dari kenangan yang akan terus kami jaga.

Comments
Post a Comment